Suatu
masyarakat, bangsa ataupun organisasi akan maju manakala memiliki peradaban
yang tinggi dan akhlak yang mulia, meskipun dari segi ilmu pengetahuan dan
teknologi masih sangat sederhana. Sedangkan pada masyarakat, bangsa ataupun
organisasi yang meskipun kehidupannya dijalani dengan teknologi yang modern dan
canggih, tapi tidak memiliki peradaban atau akhlak yang mulia, maka masyarakat,
bangsa ataupun organisasi itu disebut terbelakang dan tidak menggapai kemajuan.
Untuk
bisa merwujudkan masyarakat, bangsa ataupun organisasi yang berakhlak mulia
dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan akhlak yang mulia.
Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai
khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana seharusnya akhlak
seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan :
"Wahai
sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk
memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku
baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah,
betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa
saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan
hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan
denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah.
Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak
taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat
kepadaku."
Dari
pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita bisa menangkap keharusan seorang
pemimpin untuk memiliki tujuh sifat sebagai bagian dari akhlak yang mulia.
1.
Tawadhu.
Secara
harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong.
Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling
baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu
bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena
seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia
memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau
diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya
sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi
kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah
Swt sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para
pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu
berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan
melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.
2.
Menjalin Kerjasama.
Dalam
pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang
harus dimiliki yakni siap, bahkan mengharapkan kerjasama dari semua pihak,
beliau mengatakan: “maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku,
bantulah aku”. Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan
rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan
Allah Swt dalam firman-Nya: Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa
dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS 5:2).
Seorang
pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya sendirian,sehebar apapun
dirinya. Karenanya Rasulullah Saw telah menunjukkan kepada kitabagaimana beliau
menjalin kerjasama yang baik, mulai dari membangun masjid diMadinah hingga
peperangan melawan orang-orang kafir, bahkan dalam suatupeperangan yang
kemudian disebut dengan perang Khandak, Rasulullah menerima dan melaksanakan
pendapat Salman Al Farisi untuk mengatur strategi perang dengan cara menggali
parit.
3.
Mengharap Kritik dan Saran.
Seorang
pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun
mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan
pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang
dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah banyak
pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan
saran. Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal
kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran
dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan
kalimat: “Bila aku bertindak salah, betulkanlah”.
Sikap
seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga
saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi
ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang
sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan tersebut.
Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang
banyak.
4.
Berkata dan Berbuat Yang Benar.
Khalifah
Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun
berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah Swt, hal ini karena manusia
atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak
menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam
pidato saat pelantikannya sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan: Berlaku jujur
adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat.
Manakala
seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang,
karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut
bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya.
Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk
terus mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila
rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.
5.
Memenuhi Hak-Hak Rakyat.
Setiap
pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila
hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan
berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu bagi Khalifah Abu Bakar,
tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka
adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang
kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila
mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang
lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya.
Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pisato Khalifah Abu Bakar yang
menyatakan: “Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat
mengembalikan hak-haknya, insya Allah”.
Akhlak
yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang
indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam
kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara
kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat,
karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.
6.
Memberantas Kezaliman.
Kezaliman
merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan
suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan
kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak
boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan
oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas.
Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh
pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang
mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata: “Siapa saja yang kuat
diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain
yang dipegangnya, insya Allah”.
7.
Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah.
Pemimpin
yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt
dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang
sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk taat
kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya:
“Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak
taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat
kepadaku”.
Dengan demikian,
ketataan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari
firman Allah yang tidak menyebutkan kata taat saat menyebut ketataan kepada
pemimpin (ulil amri) dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu (QS 4:59).
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan betapa penting bagi kita untuk memiliki
pemimpin dengan akhlak yang mulia. Kerancuan dan kekacauan dengan berbagai
krisis yang melanda negeri kita dan umat manusia di dunia ini karena para
pemimpin dalam tingkat nagara dan dunia tidak memiliki akhlak seorang pemimpin
yang ideal. Karenanya, saat kita memilih pemimpin dalam seluruh tingkatan di
masyarakat jangan sampai memilih mereka yang tidak berakhlak mulia. Wallohu
a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar
tanggapan anda :